Ikhwani fillah… materi
kali ini adalah tentang status orang-orang atau dinas-dinas yang ada di
pemerintahan thaghut ini. Apakah pekerjaan yang ada di semua dinas-dinas
thaghut ini pekerjaan-pekerjaanya adalah kekafiran, ataukah ada rincian…?
Dalam masalah ini, ada pekerjaan-pekerjaan yang
sifatnya merupakan kekufuran, ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya dosa besar,
dan ada pula pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya tidak masuk ke dalam dua
kategori ini. Kita akan merincinya dan menyebutkan contoh-contohnya.
I. Pekerjaan Yang Bersifat
Kekafiran
Di antara pekerjaan
atau dinas yang merupakan kekufuran adalah dinas yang mengandung salah salah
satu di antara hal-hal berikut ini:
1. Dinas yang mengandung pembuatan
hukum.
Orang yang membuat hukum atau dia bagian dari lembaga
yang membuat hukum, maka pekerjaannya dan orang-orang yang tergabung di
dalamnya adalah orang-orang kafir. Seperti orang-orang yang ada di lembaga
legislatif dari kalangan anggota-anggota parlemen, karena di antara tugas
parlemen itu adalah membuat hukum, maka pekerjaan ini adalah merupakan
pekerjaan kekufuran dan orangnya adalah orang kafir. Adapun dalilnya adalah
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ
وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ
وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu
dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada
thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.” (An Nisa: 60)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan bahwa orang yang
membuat hukum yang dirujuk selain Allah disebut thaghut, orang yang merujuk
kepada selain hukum Allah disebutkan dalam ayat itu bahwa imannya bohong dan
hanya klaim, dan yang dirujuk tersebut, yaitu si pembuat hukum ini yang Allah
katakan sebagai thaghut –maka seperti yang telah kita ketahui– adalah lebih
kafir daripada orang kafir ‘biasa’.
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat yang lain:
اتَّخَذُواْ
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ
إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya
dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain
Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka
tidak diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada
ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan”. (At Taubah: 31).
Dalam ayat ini Allah
memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
1. Mereka telah
mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah
beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah
melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah
menjadi musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah
memposisikan dirinya sebagiarbab.
Imam At Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, bahwa
ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy
ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy
ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy
mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak
pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”,
Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis
kami telah mempertuhankan mereka, atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan
yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka
padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka?.
Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama
dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut
menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan
terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama
dan para rahib).”
Jadi bentuk peribadatan di sini adalah ketika alim
ulama itu membuat hukum di samping hukum Allah, kemudian hukum tersebut diikuti
dan ditaati oleh para pengikutnya, maka si alim ulama atau pendeta tersebut
Allah Subhanahu Wa Ta’ala cap
mereka sebagai Arbab atau sebagai orang yang memposisikan dirinya sebagai tuhan
selain Allah, sedangkan orang yang memposisikan dirinya sebagi pembuat hukum
atau sebagai tuhan selain Allah, maka dia itu adalah orang kafir. Maka berarti
pekerjaan ini adalah pekerjaan kekafiran.
Dan dalil yang lain adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
أَمْ
لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
“Apakan mereka memiliki sekutu-sekutu
yang menetapkan bagi mereka dari dien (hukum/ajaran) ini apa yang tidak Allah
izinkan”. (Asy Syuura: 21)
Dalam ayat ini Allah mencap para pembuat hukum selain
Allah sebagaisyuraka (sekutu-sekutu)
yang diangkat oleh para pendukungnya sebagai sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sedangkan orang yang memposisikan
dirinya sebagai sekutu bagi Allah adalah orang kafir.
Ini adalah pekerjaan
pertama yang merupakan kekafiran; yaitu orang yang pekerjaannya adalah membuat
hukum atau menggulirkan atau menggodok undang-undang, seperti para anggota
dewan perwakilan dan yang serupa dengannya atau apapun namanya.
2. Pekerjaan yang tugasnya bersifat
pemutusan dengan selain hukum Allah.
Orang yang pekerjaannya adalah memvonis dan menuntut
dengan selainhukum Allah, seperti para jaksa dan hakim. Mereka
menuntut dan memutuskan di persidangan, si jaksa yang menuntut dan si hakim
yang memutuskan, sedangkan kedua-duanya adalah memutuskan dengan selain hukum
Allah.
Pekerjaan semacam ini,
pemutusan dengan selain hukum Allah ini merupakan pekerjaan kekafiran dan
orangnya telah Allah cap secara tegas dan jelas sebagai orang kafir, zhalim,
dan fasiq dalam satu surat:
وَمَن
لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir”. (Al Maidah: 44)
وَمَن
لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim”. (Al Maidah: 45)
وَمَن
لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
fasik”. (Al Maidah: 47)
Sedangkan kita
mengetahui bahwa para hakim dan para jaksa ketika memutuskan atau ketika
menuntut mereka memutuskan dan menuntutnya dengan selain hukum Allah, yaitu
dengan hukum jahiliyyah (hukum thaghut), maka pekerjaannya adalah pekerjaan
kekafiran.
3. Pekerjaan yang bersifat nushrah (pembelaan/perlindungan)
bagi sistem thaghut
Ini adalah sebagaimana yang sudah dijabarkan dalan
materi Anshar Thaghut, seperti; tentara, polisi, atau badan-badan intelejen.
Maka dzat dari
pekerjaan ini adalah kekafiran karena mereka memberikan nushrahterhadap thaghutnya dan terhadap sistemnya itu
sendiri, maka berarti ini pekerjaan kekafiran dan orangnya adalah sebagai orang
kafir, sebagaimana yang Allah katakan dalam firman-Nya:
الَّذِينَ
آمَنُواْ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُواْ يُقَاتِلُونَ فِي
سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُواْ أَوْلِيَاء الشَّيْطَانِ
“Orang-orang yang beriman berperang di
jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu
perangilah kawan-kawan (wali-wali) syaitan itu” (An Nisa: 76)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencap
mereka sebagai orang kafir karena mereka berperang di jalan thaghut. Dan dalam
surat yang lain Allah mengatakan:
أَلَمْ
تَر إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لِإِخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ
فِيكُمْ أَحَداً أَبَداً وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ
إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di
antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar
bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk
(menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”. Dan
Allah bersaksi bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan ukhuwah kufriyyahantara orang munafiq dengan orang-orang Yahudi,
padahal kita tahu bahwa orang munafiq dihukumi secara dunia sebagai orang
muslim, akan tetapi ketika dia menampakkan kekafiran dengan cara membantu
orang-orang Yahudi, maka Dia memvonis kafir mereka. Orang munafiq dalam ayat ini dihukumi kafir
karena berjanji akan membantu orang Yahudi dalam memerangi
Rasulullah, padahal janji mereka di hadapan orang Yahudi itu bohong, akan
tetapi Allah memvonis mereka sebagai orang kafir karena menjanjikan akan
melakukan kekafiran, yaitu membela orang Yahudi dalam memerangi Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga orang yang
berjanji untuk melakukan kekafiran tapi janjinya bohong, maka tetap dia itu
sebagai orang kafir.
Ini adalah dalil, bahwa
membantu orang kafir di atas kekafiran adalah merupakan kekafiran dan orangnya
adalah orang kafir. Oleh karena itu dinas yang bersifat pembelaan dan
perlindungan bagi sistem thaghut merupakan dinas kekafiran dan pekerjaannya itu
adalah pekerjaan yang membuat kafir pelakunya.
4. Setiap pekerjaan yang bersifat
tawalliy kepada hukum thaghut.
Orang yang dzat pekerjaannya
tawalliy (mencurahkan loyalitas) kepada sistem thaghut, yaitu melaksanakan
hukum-hukum thaghut secara langsung, seperti aparat thaghut yang bekerja di
departemen kehakiman, dinas mereka langsung tawalliy kepada hukum thaghut.
Dinas seperti ini adalah dinas kekafiran.
Dan dinas yang seperti ini juga adalah kejaksaan. Atau
orang bekerja di sekretariat gedung DPR/MPR, dimana dia yang mengatur
program-program atau berbagai acara rapat atau sidang mejelis thaghut ini. Dia
tawalliy penuh kepada sistem ini karena kegiatan-kegiatan angota DPR/MPR tidak
akan terlaksana tanpa ada pengaturan dari mereka. AllahSubhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ
الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ ٢٥ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ
الْأَمْرِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ ٢٦
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke
belakang (murtad) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah
menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.
Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata
kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan
mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka”. (Muhammad: 25-26).
Orang yang mengatakan
kepada orang kafir atau thaghut “kami akan mentaati kalian dalam sebagian
urusan kekafiran” telah Allah vonis kafir, sedangkan orang-orang yang tawalliy
tadi, ternyata mereka justeru mengikuti sepenuhnya kekafiran ini, mengikuti
thaghut sepenuhnya dalam melaksanakan hukum-hukum kekafiran (hukum thaghut).
5. Orang yang bersumpah untuk loyal
kepada thaghut (sistem/hukum/undang-undang)
Setiap orang yang bersumpah untuk loyal kepada
undang-undang, apapun dinasnya, walaupun dia bekerja di dinas pendidikan
umpamanya, atau dinas pertanian, atau dinas perhutanan, akan tetapi jika dia
bersumpah untuk loyal kepada undang-undang atau kepada sistem thaghut, maka
apapun bentuk pekerjaannya jika dia melakukan sumpah, maka dia kafir
dengan sebab sumpahnya, bukan dengan sebab pekerjaannya.
Ini berbeda dengan
dengan jenis pekerjaan yang sebelumnya, di mana yang menyebabkan kekafiran
adalah dzat pekerjaannya, seperti anggota MPR/DPR, baik dia disumpah ataupun
tidak maka dia tetap kafir, begitu juga hakim, jaksa, tentara, polisi, baik
mereka bersumpah ataupun tidak, maka mereka tetap orang kafir.
Sedangkan di sini,
orang menjadi kafir bukan dengan sebab dari sisi pekerjaannya, tapi dari sisi
sumpahnya, apapun bentuk dinasnya selama ada sumpah untuk loyal kepada hukum
thaghut maka dia kafir. Jika saja Allah memvonis murtad orang yang menyatakan
akan taat, setia dan akan mengikuti hanya dalam sebagian kekafiran, maka apa
gerangan dengan orang yang menyatakan dalam sumpahnya; kami akan setia dan taat
sepenuhnya kepada Undang Undang Dasar atau Pancasila atau kepada Negara Kafir
Republik Indonesia…?! ini lebih kafir daripada orang yang Allah vonis murtad
dalam surat Muhammad tadi. Jika saja mengikuti sebagiannya saja Allah vonis
murtad, maka apa gerangan dengan orang yang mengatakan akan setia dan mengikuti
sepenuhnya…?!!
Ini adalah di antara
pekerjaan-pekerjaan atau dinas-dinas yang Allah vonis kafir pelakunya, dan
pekerjaan ini merupakan pekerjaan kekafiran di dinas thaghut tadi.
II. Pekerjaan Yang Bersifat
Keharaman
Jika pekerjaan selainnya yang tidak ada kelima unsur tadi; tidak ada pembuatan hukum,
tidak ada pemutusan dengan selain hukum Allah, tidak ada pembelaan atau tidak
ada tawalliy, tidak ada janji setia kepada hukum thaghut, maka dinas-dinas yang
tidak ada kelima unsur tadi harus dilihat apakah dinas tersebut dinas
kezhaliman yang merupakan keharaman ataukah bukan (dinas yang mubah).
Apabila dinas tersebut
adalah dinas keharaman lalu tidak ada lima hal tadi, seperti di perpajakan atau
bea cukai atau keimigrasian yang merupakan kezhaliman, atau di bank-bank riba,
maka ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang haram. Ini bukan pekerjaan kekafiran
kecuali kalau ada sumpah.
Orang yang bekerja
sebagai PNS di bea cukai, dzat pekerjaannya adalah haram karena kezhaliman, dan
jika ada sumpah maka dia kafir dari sisi sumpahnya, jika tidak ada sumpah, maka
pekerjaannya itu adalah pekerjaannya saja yang haram.
III. Pekerjaan Yang Mubah
Seandainya tidak ada
kelima hal tadi, terus pekerjaannya juga bukan pekerjaan yang haram, maka itu
adalah pekerjaan yang mubah (yang boleh-boleh saja) seperti di dinas kesehatan,
di pertanian, di kelautan, atau dinas-dinas yang bukan merupakan kekufuran dan
bukan merupakan keharaman.
Para ulama mengatakan bahwa jika dinas tersebut milik
thaghut maka minimal hukumnya makruh, tidak dikatakan mubah karena minimal dia
dekat dengan thaghut. Hukumnya makruh tapi dengan syarat dia tetap
menampakkan keyakinannya. Dalil dalam
hal itu adalah hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam Shahih-nya
pada Kitab Al Ijarah bab: “Apakah seseorang boleh mengupahkan dirinya
bekerja pada orang musyrik di negeri harbiy”: Dari
Khabab radliyallahu ‘anhu,
berkata: “Saya adalah pandai besi, kemudian saya
bekerja untuk Al ‘Ash Ibnu Wail, sehingga terkumpul hak upah saya di sisinya,
kemudian saya mendatanginya untuk meminta upah itu darinya”,
maka ia (Al ‘Ash ibnu Wail) berkata: “Tidak, demi Allah.
Saya tidak akan membayar upahmu sampai kamu kafir kepada Muhammad!”,
maka saya berkata: “Demi Allah, tidak akan saya lakukan
sampai kamu mati kemudian dibangkitkan sekalipun”, ia
berkata: “Apa saya akan mati kemudian
dibangkitkan ?”, saya berkata: “Ya !”, dan
ia berkata: “Ya, berarti di sana saya akan
memiliki harta dan anak, kamudian saya akan membayar upahmu”.
Di sini Khabab menampakkan keyakinannya. Jadi dalam
dinas-dinas seperti kesehatan dan yang lainnya yang sifatnya mubah-mubah saja
dengan syarat tetap menampakkan keyakinan di tengah mereka, karena jika tidak
menampakkan, maka ia berdosa karena dia meninggalkan hal yang wajib yaitu izhharuddin hanya
karena mencari pekerjaan yang bersifat dunia ini. Akan tetapi jika seandainya
dinas-dinas yang mubah ini di dalamnya ada sumpahnya, maka dia kafir karena
sebab sumpahnya bukan karena dzat pekerjaannya.
Dan yang harus dikertahui juga adalah jika dia bekerja
di dinas-dinas yang mubah tadi lalu dia sebelumnya bersumpah, maka dia kafir
karena sumpahnya, karena secara hukum thaghut ketika diangkat menjadi PNS, maka
dia diambil sumpahnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku di dinas
kepegawaian yaitu bahwa semua PNS di Indonesia ini harus bersumpah ikrar setia[1].
Berdasarkan hukum thaghut, PNS harus disumpah, akan
tetapi antara disumpah atau tidak dalam praktiknya, maka itu urusan dia dengan
dengan Allah, jika kita tidak tahu apakah dia itu mengikrarkan sumpah
atau tidak, maka dia tidak bisa dikafirkan, karena dzat pekerjaannya bukan
pekerjaan kekufuran, kecuali bila kita mendengar saksi dari dua orang laki-laki
muslim yang adil atau pengakuan dari dia langsung, maka kita nasihati agar dia
berlepas diri dari sumpahnya. Ini berbeda dengan tentara atau polisi atau aparat lainnya dimana
kita bisa langsung mengkafirkan mereka, juga seperti anggota MPR/DPR karena
dzat pekerjaannya merupakan kekafiran, kita tidak bisa menghukuminya sebagai
orang muslim sampai dia keluar dari pekerjannya dan melepaskan segala atribut
pekerjaannya.
Jika orang bekerja di
dinas-dinas keharaman atau yang mubah tadi, lalu dia pernah bersumpah dan
setelah kita nasihati, lalu dia menyatakan keberlepasan diri dari sumpahnya,
dia bertaubat dari sumpah kekufurannya, dia ikrarkan dua kalimah syahadat, maka
dia dihukumi sebagai orang muslim, walaupun dia tidak keluar daripada
kedinasannya, karena kekafirannya disebabkan oleh sumpahnya, bukan karena
dinasnya.
Jadi, di sini dibedakan antara kekafiran yang
disebabkan oleh dzat pekerjaannya dengan kekafiran yang diakibatkan oleh sumpah
untuk setia dan loyal kepada thaghut.
Dalam realita
masyarakat banyak terdapat PNS, tetapi kita tidak mengetahui secara individu
dari mereka apakah si fulan ini sumpah ataukah tidak, maka kita tidak bisa
mengkafirkannya meskipun pada hakikat sebenarnya dia itu telah bersumpah,
karena yang mengetahui dia mengaikrarkan sumpah atau tidak hanyalah Allah,
sedangkan kita tidak tahu. Bila kita melihat dzat pekerjaannya bukan kekufuran,
maka dia tidak boleh dikafirkan, karena kita menghukumi secara zhahir sedangkan
urusan bathin maka itu urusan Allah.
Kemudian, bagi orang yang telah bekerja di dinas
kekafiran akan tetapi dia sudah pensiun atau sudah berhenti dari pekerjaannya,
baik berhentinya karena dipecat atau karena mengundurkan diri atau karena
selesai masa jabatannya, maka bagi orang-orang semacam ini; maka selama dia
menampakkan keislaman, lalu tidak muncul dari sikap atau dari
ucapan dia hal-hal yang menunjukan bahwa dia itu masih menginginkan
perbuatannya itu atau masih membanggakannya atau membolehkannya atau
menganjurkan agar orang masuk ke dalamnya, maka orang seperti itu kita hukumi
secara dunia dia itu muslim, sedangkan masalah bathinnya itu urusan dia dengan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Demikianlah bagaimana menyikapi orang-orang semacam
itu, karena ketika kita mengkafirkan orang-orang yang bekerja di dinas-dinas
kekafiran adalah karena pekerjaannya, jika dia sudah berhenti dan meninggalkan
pekerjaannya apapun faktor yang membuat dia berhenti, maka apabila tidak muncul
dari ucapannya atau perbuatannya hal-hal yang menunjukan bahwa dia masih
menginginkannya atau membanggakannya dan dia menampakkan keislaman, maka dia
dihukumi muslim kembali secara hukum dunia, adapun masalah bathinnya maka
perhitungannya itu di sisi Allah. Ini sebagaimana dalam hadits dari Imam
Muslim yang diriwayatkan dari Abu Malik Al Asyja’iy: “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala
sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah darah dan hartanya,
sedangkan perhitungannya atas Allah Ta’ala”, karena kadar minimal
adalah meninggalkannya.
Ini adalah materi
tentang status pekerjaan-pekerjaan yang ada di dinas-dinas pemerintahan thaghut
ini. Yang mana di antaranya ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya merupakan
kekufuran, dan ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya dosa besar, dan ada
pekerjaan yang sifatnya tidak masuk ke dalam dua kategori ini atau pekerjaan
ini bersifat mubah.
Dan terakhir, ketika para shahabat memperlakukan
keluarga atau anak isteri anshar thaghut, seperti kelompok Musailamah Al
Kadzdzab adalah sebagai orang kafir. Mungkin ada pertanyaan kenapa kita
sekarang tidak memperlakukan anak isteri anshar thaghut ini sebagai orang
kafir…?. Ini karena bahwa anak isteri anshar thaghut bisa dikatakan kafir
bila dalam konteks muwajahah (konfrontasi)
antara kelompok Islam dengan kelompok kafir, itu juga dengan dua syarat: Pertama, kaum
muslimin memiliki kekuatan dan mendominasi penuh terhadap orang kafir tersebut. Ke dua,ada
kemungkinan untuk bergabung kepada kelompok Islam tersebut.
Dikarenakan pada waktu itu kekuatan kaum muslimin
sangat mendominasi, maka seandainya mereka (keluarga anshar thaghut) mau
membelot, mereka bisa bergabung dengan kaum muslimin, dan ketika mereka tidak
melakukannya di mana waktu itu dalam konteks sedangmuwajahah, maka mereka dihukumi kafir murtad. Sebagaimana
Rasulullah sebelumnya saat Futuh Mekkah, maka orang yang ada di kota Mekkah
semuanya diperlakukan sebagai orang kafir. Saat itu kekuatan kaum muslimin
berada di atas kekuatan orang kafir, dan orang yang mengaku muslim yang ada di
tengah mereka bisa bergabung dengan kaum muslimin jika mau. Dan ketika tidak
bergabung maka dihukumi kafir oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Berbeda halnya jika dua syarat ini atau salah satu
dari syarat ini tidak terpenuhi seperti saat sekarang ini dimana kaum
muslimin tidak memiliki kekuatan dan tidak memiliki dominasi, maka dari itu
kita tidak mengkafirkan anak isteri anshar tahghut, dan ini seperti isteri
Fir’aun, dimana Allah mengatakan tentangnya dalam surat At
Tahrim bahwa isteri Fir’aun adalah seorang mu’minah. Kenapa mu’minah?
Kenapa tidak dihukumi seperti isteri Musailamah umpamanya ? Karena kaum
muslimin pada saat itu (yang dipimpin Nabi Musa) tidak memiliki dar (wilayah) dan tidak mendominasi kekuatannya sehingga
ia tidak bisa membelot atau bergabung dengan kaum Nabi Musa.
Jadi jika dua syarat
ini tidak terpenuhi, maka kita memperlakukan orang yang menampakkan keislaman
di tengah orang-orang kafir sebagai orang muslim. Orang muslim dimana saja
adalah orang muslim, baik itu di darul harbiy ataupun di darul Islam.
Alhamdulillaahirrabbil’aalamiin…
[1]. Seperti yang ada pada Sumpah Pegawai Negeri
Sipil RI, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1975 pasal 6 yang
berbunyi:
Demi Allah, Saya Bersumpah:
Bahwa saya untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan
taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Negara
dan Pemerintah;
Bahwa saya, akan mentaati segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan
yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan
tanggung jawab;
Bahwa saya akan senantiasa
menjungjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai
Negeri serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri,
seseorang atau golongan;
Bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu menurut sifatnya ataumenurut perintah saya haruus
merahasiakan;
Bahwa saya akan bekerja dengan jujur,
tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara